Maling
Karya:
Auf Sahid
(Setting
tempat halaman rumah di sebuah kampung. Waktu malam hari. Dari luar
terdengar suara gaduh derap langkah orang berlari sambil berteriak
maling diiringi musik pembuka. Lampu fade in. Seorang Maling masuk,
panik. Kemudian ia menyembunyikan bungkusan curiannya di semak-semak.
Kemudian ia berlari sembunyi. Lalu warga masuk panggung berlari dari
salah satu sisi dan langsung keluar di sisi yang lain. Kemudian
mereka kembali sambil mencari-cari.)
Lurah : Cari sampai
dapat! Tadi larinya ke arah sini.
Seseorang : Tapi kok
hilang, Pak.
Lurah :
Ya kalau begitu pasti ada di sekitar sini. Nggak mungkin jauh.
Begini saja, kita berpencar saja.
Seseorang : Aduh,
Pak, capek.
Lurah :
Sampeyan ini bagaimana? Baru begini saja capek. Ayo cepat! Sampeyan
dan mbak Seseorang ke sana. Mas Seseorang cari yang sebelah sana.
Seseorang : Lha
Bapak?
Lurah :
Saya jaga di sini.
Warga : Woo...
Seseorang : Sampeyan
kok enak?
Lurah :
Lho, ini juga bagian dari tugas. Ayo cepat. Nanti malingnya keburu
jauh. Berangkat!
(warga berpencar,
musik mulai fade out)
Lurah :
(menghela nafas) Ada-ada saja. Pencurian di desa ini kok ndak ada
habisnya. Mulai dari kehilangan sandal, rantang isi makanan, pakaian,
sampai kendaraan. Seminggu yang lalu sandalnya Mbak Surti
hilang. Katanya, sandal itu mahal sekali harganya. Beli di luar
negeri. Lalu dia lapor ke saya, minta tolong untuk menggerakkan
seluruh jajaran Hansip mencarikan
sandalnya. Sandal saja beli di luar negeri. Mungkin itu
kenang-kenangan dari majikannya saat jadi TKW dulu.
Lalu
kemarin lusa, senter, pentungan termos kopi dan rantang makanan di
pos Hansip hilang. Ya baru ini ada Hansip
kemalingan. Keterlaluan. Gara-gara itu, saya mulai habis isya sampai
malam ikut muter-muter mencari. Jadi ndak bisa lihat sinetron
kesukaan saya. (pada bagian ini bisa disebutkan salah satu judul
sinetron yang sedang populer)
Nah,
sekarang yang hilang malah lebih besar, uang kelurahan. Akhirnya mau
tidak mau saya harus ikut mengejar. Apalagi tiga hari lagi Pak Camat
mau datang melihat apakah uang bantuan dari Pemda sudah diterima dan
digunakan atau belum. Ini bisa kacau kalau ketahuan dicuri. Jabatan
saya sebagai Lurah bisa terancam.
Benar-benar
keterlaluan. Desa Suka Makmur kok banyak maling. Tidak cocok dengan
namanya, Suka Makmur. Siapa sih dulu yang punya ide nama Suka Makmur?
Kalau begini terus, besok mau saya usulkan saja ke Presiden. Namanya
diganti menjadi Suka Maling. Jadi kalau banyak pencurian saya tidak
bakal disalahkan. Sudah sesuai dengan namanya.
(Seseorang
masuk dengan terengah-engah)
Seseorang :
Pak, Lapor.
Lurah :
Bagaimana?
Seseorang :
Sudah saya cari dari Sabang sampai Merauke...
Lurah :
....berjajar pulau-pulau?
Seseorang :
Bukan, nihil.
Lurah :
Walah.
Seseorang :
Lha Bapak sendiri?
Lurah :
Sama. Dari tadi saya jaga di sini tidak ada tanda-tanda maling
yang lewat. Nihil.
Seseorang :
Wajar, Pak.
Lurah : Wajar
bagaimana?
Seseorang :
Mana ada maling celingak-celinguk lewat di depan sampeyan.
(Seseorang dan
Seseorang masuk dengan tergopoh-gopoh)
Seseorang :
Pak, ada berita penting..
Seseorang :
Iya, Pak.
Lurah : Ada apa?
Seseorang :
Tadi saya bertemu dengan Mas Poniman.
Lurah : Mas Poniman?
Seseorang :
Iya....
Lurah : Mas Poniman
sia...
Seseorang :
....katanya, mulai sekarang kita tidak perlu bingung kalau mau
ngambil TV, kulkas, atau motor. Cukup dengan KTP saja kita bisa
kredit TV lho, Pak. Bayangkan. Biasanya harus pakai BPKB atau
sertifikat tanah, ya kan, Mbak?
Seseorang :
Benar, Pak. Apalagi cicilannya juga murah. Motor hanya 50 ribu per
bulan. Kulkas dua pintu hanya 30 ribu perbulan. Apalagi TV hanya dua
puluh ribu per bulan. Dan semua tanpa...
Lurah : Diam!
Sampeyan ini bagaimana? Tadi saya suruh apa?
Seseorang :
ee.. anu.. cari..
Lurah :
Cari maling kan? Kenapa malah cari kreditan?
Seseorang :
Mbak, sampeyan tadi ke sana apa tidak bertemu orang yang
mencurigakan?
Seseorang :
Oh, yang mencurigakan?
Lurah, Seseorang :
Ada? Mana?
Seseorang :
Tidak ada, Pak.
Lurah :
Walah. (bicara sendiri) Wah, bagaimana ini. Kalau sampai lusa tidak
ketemu bisa gawat. Nanti kalau aku dipecat bagaimana? Sudah dicari ke
sana kemari tidak ada….
Seseorang
: Eh, Pak. (sambil menunjuk ke rumah)
Seseorang
: Iya, Pak. Jangan-jangan...
Lurah : …eits,
jangan gegabah dulu.
Seseorang : Tapi ini
kan rumahnya…
Lurah : …..iya,
tapi jangan asal menuduh dulu.
Seseorang :
Sudahlah, Pak. Pasti dia. Sekali maling tetaplah maling.
Lurah : Tenang,
tenang dulu. Kita lihat baik-baik dulu. (mengetuk pintu rumah) Kulo
nuwun… Mas Maman… Mas Maman…. Mas Maman…. (hening)
Seseorang : Lho,
bener kan, Pak?
Lurah : Bener
apanya?
Seseorang : Ya pasti
dia. Lihat dia sekarang pasti ketakutan di dalam.
Seseorang : Benar,
Pak. Kita dobrak saja pintunya.
Semua warga : Ya,
ya.. kita dobrak saja pintunya.
Lurah : Tenang,
tenang dulu. Jangan ngawur.
Seseorang :
Sudahlah, Pak. Nanti dia keburu kabur lewat belakang. Ayo dobrak
saja.
Semua warga : Ya
ayo… (mereka mengambil kursi kayu panjang di depan rumah dan akan
digunakan sebagai alat pendobrak)
Semua warga : Satu…
dua…. Ti….
(Maman tiba-tiba
muncul dari luar panggung)
Maman : Hoi, ada
apa ini?
Lurah : Lho, Maman?
(pada warga) He, bangkunya... Anu, Man, maaf. Tadi kita sedang
mengejar maling.
Maman : Lha terus
kok pada nggrumbul di depan rumah saya ada apa?
Lurah : Tadi
malingnya lari ke sekitar sini, jadi e..., kami mengejar ke sini dan
e.... kebetulan lewat rumahmu, jadi..
Seseorang : Jadi
sekarang kamu ngaku saja Man. Mana hasil curianmu?
Maman : Curian?
Curian apa? Lha wong aku dari WC umum kok?
Seseorang : WC
umum? WC umumnya kan jelas-jelas rusak.
Maman : Eh, anu,
sungai.
Seseorang : Sungai?
Di sini mana ada sungai Man?
Seseorang : Alah,
ngaku saja, Man. Sekali maling tetap saja maling.
Maman : He, mulutmu
nggak pernah disekolahkan ya? Ngomong seenaknya aja. Aku tadi dari
jalan-jalan kok.
Lurah : Tenang,
tenang. Jangan ribut. Man, kamu ngaku saja dari mana?
Maman : Dari
jalan-jalan, Pak. Suer!
Seseorang : Lha itu
apa?
Maman : Mana?
Seseorang : Itu
dibalik jaketmu.
Maman : Nih liat
(sambil membuka jaket)
Seseorang : Di balik
baju.
Maman : Ini (sambil
membuka baju) Puas?
Seseorang : Lha itu
apa? (sambil menunjuk buntelan dalam sarung Maman)
Seseorang : Buka
sarungmu!
Maman : Ngawur! Ini
aurat!
Seseorang : Pasti
itu, Pak!
Lurah : Man, coba
lihat isi bungkusan itu.
Maman : Wah, jangan
Pak. Ini bukan milik umum, Pak.
Lurah : Sudah,
keluarkan saja. Daripada kamu dikeroyok sama orang-orang.
Maman : Ampun,
jangan! (menyerahkan bungkusan pada Lurah)
Lurah :
(mengeluarkan sandal dari dalam bungkusan) Lho, punya siapa ini?
Seseorang : Lho,
itu kan sandalku yang beli di luar negeri? Jadi kamu Man? Hah?
Lurah : Sudah,
sudah. Kita tadi mau cari maling uang, bukan maling sandal.
Maman : Lho, jadi,
ini tadi bukan dalam rangka mencari saya, toh?
Seseorang :
Sekarang aku yang nyari kamu.
Lurah : Sudah,
cukup! Tadi uang kantor kelurahan dicuri. Kita sekarang sedang
mencarinya.
Maman : Oalah, lha
ya mbok dari tadi ngomong. Saya kan nggak perlu deg-degan.
Seseorang :
Deg-degan apa? Jangan-jangan kamu juga yang nyuri di kelurahan?
Maman : Kamu jangan
sembarangan ya. Seenaknya saja menetapkan aku sebagai praduga tak
berguna.
Seseorang : Praduga
tak bersalah.
Maman : Itu dia
maksudku.
Seseorang : Nggak
pernah sekolah saja ngomong sok yes.
Maman : Daripada
kamu, pernah sekolah tapi cuma bisa ngomong.
Lurah : Cukup! Jadi
benar kalau kamu bukan yang mencuri uang kelurahan.
Maman : Eits, jangan
salah. Jelek-jelek gini saya, Maman Supraman, nggak bakal mencuri
uang rakyat. Itu prinsip!
Lurah : Iya, iya.
Kalau begitu, kamu ikut ronda apa nggak?
Maman : Lho ya pasti
donk. Saya kan warga negara yang baik. Selalu ikut kegiatan
kemasyarakatan. Apalagi kegiatan ronda seperti ini. Ya, kan? Ayo
semuanya! Kita berangkat! Siap semuanya! Satu, dua, tiga, sahuuur...
sahur. Sahuuur... sahur. (Maman ber-uforia sendiri sedangkan
yang lain hanya bengong. Meskipun ngotot, yang lain masih bengong.
Malah semakin lama terlihat kejengkelan di wajah para warga.)
Lurah : Stop! Kamu
ini apa-apaan?
Maman : Lho, kita
kan mau ronda Pak?
Seseorang : Man, ini
bukan bulan puasa! Bukan ronda sahur. Kita mau cari maling!
Maman : Oh, maaf.
Kalau begitu, maliiiing... maling. Maliiiiing.... maling.(dengan nada
yang sama)
Lurah : Man!
Maman : Apalagi Pak?
Lurah : Jangan
keras-keras!
Maman : (sambil
berbisik) Maliiiing... maling. Maliiiing maling.
Lurah : Sudah, ayo
kita lanjutkan! (warga pergi meninggalkan Maman yang masih asyik
sendiri. Setelah sadar sendiri, bingung)
Maman : Lho, hei!
Busyet! Ditinggal! Hei! Wah, payah orang-orang. (celingak-celinguk
memastikan keadaan aman) Hehehehehe... Untung yang di sini tidak
digeledah. Kalau ketahuan, bisa kacau acara. (menghampiri tempat
dekat Maling menyembunyikan barang curiannya, lalu mengambil sebuah
tas plastik, melihat isinya dan tertawa) Ini kalau ketahuan bisa
marah yang punya. Diselesaikan dulu, baru menyusul ronda.
(mengeluarkan isinya, mangga muda.) Nah, siiip. Pencuci mulut.
(kemudian Maman memakannya)
Maling : (keluar
dari tempat persembunyiannya, menodongkan celurit) Mas, serahkan
bungkusan itu.
Maman : Siapa
sampeyan?
Maling : Tidak perlu
banyak bicara. Serahkan saja bungkusan itu.
Maman : Waduh, mas.
Ini tadi sulit dapatnya. Saya saja tadi hampir jatuh, digigit semut,
dikejar tawon, kecebur sungai....
Maling : Hei! Aku
tidak mau mendengar curhatanmu. Serahkan! (mengacungkan senjata)
Maman : Iya, iya.
(menyerahkan bungkusan.) Ini juga, Mas?
Maling : Ndak usah.
Buat kamu aja. (pergi)
Maman : (sambil
menghabiskan mangga) Gila, siapa itu tadi? Masak minta mangga saja
pake senjata? Ah, mungkin istrinya lagi ngidam. Atau mungkin dia yang
ngidam? Aneh, gitu saja pake nodong. Memang jaman sekarang ini
orang-orang pada aneh. Masalah sepele saja pakai kekerasan, maksa.
Atau kalau tidak, nyogok nyuap. Padahal kalau dia mau usaha sedikit
saja pasti dapat. Aku saja rela manjat pohon, digigit semut, dikejar
tawon, demi mendapat mangga ini. Tapi dia, seenaknya mengambil jerih
payah orang lain. Serahkan bungkusan itu, hah! Anak kecil ingusan
juga bisa…
(tiba-tiba Maling
masuk sambil melemparkan mangga pada Maman)
Maling : Hei! Mana
isinya tadi?
Maman : Apa toh?
Maling : Mana isi
kresek tadi.
Maman : Lha ini kamu
lempar. Piye toh?
Maling : Bukan itu.
Maman : Mana lagi?
Maling : Yang asli.
Maman : Yang asli
apa?
Maling : Isi yang
asli!
Maman : Iya, apa?
Maling : Uang
kelurahan!
Maman : Hah? Jadi,
kamu malingnya? Maliiiiiiing! Maliiing! (lari keluar)
(Maling panik,
keluar Warga kemudian berdatangan)
Lurah : Mana
malingnya? Mana?
Maman : Ke sana,
Pak.
(keluar
mengejar. Kemuadian Maling masuk lagi, clingak celinguk, memastikan
keadaan aman. Lalu menuju ke tempat ia menyembunyikan barangnya.
Belum sempat mengambil barangnya, Maman berlari masuk sambil
memegangi perutnya menuju pintu rumah. Si Maling kelabakan karena
tidak ada tempat bersembunyi. Tapi Maman tidak menyadari.)
Maman :Aduh, sialan.
Ini gara-gara mangga curian. Pasti yang punya nggak ikhlas. Mana sih
kunciku? Aduh, gawat. Aduh, sudah diujung tanduk nih. Eh, Mas. Jangan
diam saja. Tolong, mas.
(Maling membantu
membukakan pintu rumah Maman)
Maman : Makasih ya
mas.
Maling : Sama-sama.
Maman : Kok pinter
sampeyan, Mas? Kayak maling sa... Maliiiiing... maliiiiing....
(Si Maling langsung
menutup pintu dan menguncinya dari luar. Maman masih
berteriak-teriak, Maling panik, dan orang-orang terdengar
berdatangan. Si Maling bersembunyi di semak-semak. Warga masuk)
Lurah : Man, mana
malingnya? Buka pintunya.
Maman : Aduh,
(terdengar suara kentut) bocor.
Lurah : Man, mana..
bau apa ini?
Maman : Tolong
Pak... Pintunya dikunci (terdengar suara kentut berkali-kali)
Seseorang : Man,
kamu mencret ya?
Maman : Toloooong,
buka.
Lurah : Dobrak saja.
(warga mendobrak pintu dengan kursi kayu di depan rumah)
(setelah pintu
terbuka, Maman keluar dengan wajah loyo. Semua warga menutupi
hidungnya)
Maman : Lapor, Pak.
Tadi malingnya dari sini, terus kabur lagi.
Lurah : Kemana
kaburnya?
Maman : Emm... Ke
sana eh, bukan, ke sana mungkin,
Lurah : Yang bener!
Kemana?
Maman : Ke sana,Pak.
Sepertinya cenderung ke sana.
Seseorang : Man,
kamu mencret ya?
Maman : Maaf,
kecelakaan. Ayo kita kejar.
Lurah : Hei, mau
kemana kamu?
Maman : Ngejar
Maling, Pak.
Lurah : Ganti celana
dulu, sana.
Maman : Waduh, nanti
keburu jauh, Pak.
Seseorang : Tapi
kita yang nggak kuat.
Maman : Sudahlah,
tidak apa-apa. Yang sabar ya?
Seseorang : Sabar,
sabar. Baumu itu melanggar ketertiban umum.
Maman : Ketertiban
umum apa? Kayak kamu nggak pernah ngantong aja.
Seseorang : Ya itu
dulu, waktu masih bayi.
Lurah : Sudah, Man.
Ganti celana saja dulu. Kita menunggu di sini
Maman : Bener ya,
Pak?
Lurah : Iya.
Maman : Saya
ditunggu lho!
Lurah : Iya.
Maman : Nanti kalau
saya diapa-apakan sama malingnya bagaimana?
Lurah : Iya.
Maman : Janji ya,
Pak, saya ditunggu!
Lurah : Iya.
Maman : Nanti
ditinggal?
Lurah : Iya.
Maman : Tuh kan?
Saya mau ditinggal.
Lurah : Kalau kamu
kebanyakan ngomong, saya tinggal, lho! Sana! Cepat!
Maman : Iya, iya.
Tapi nanti kalau...
Warga : Maaaan...!
Maman : Iya, iya,
iya.. (Maman segera masuk ke dalam rumah)
Lurah : Ayo, kita
cari lagi. (warga keluar. Maling masuk lagi, mengendap-endap)
Maman : Pak, masih
di luar kan?
Maling : (kaget) I..
iya..
Maman : Oh, ya
sudah.. Saya kira saya ditinggal. Maaf, lho Pak. Kecelakaan ini tadi
sebenarnya gara-gara Maling sialan itu. Bikin repot saja, ya kan,
Pak?
Maling : Eh… anu..
iya…
Maman : Nanti kalau
maling itu sudah tertangkap enaknya diapakan, Pak?
Maling : Diberi
uang.
Maman : Lho, saya
juga mau, Pak.
Maling : Eh, anu…
Maksud saya diberi pelajaran.
Maman :Pelajaran
apa, Pak?
Maling : Eh.. anu…
eee.. apa ya? E… pelajaran hukum saja.
Maman : Lho, kenapa
hukum, Pak?
Maling : Ya biar
kebal hukum.
Maman : Lho, kok
malah dibela, Pak?
Maling : eh, anu,
terserah kamu saja.
Maman : Saya punya
ide, Pak. Nanti kita beri pelajaran penjaskes. Lalu kita suruh push
up 100x, sit up 200x, lari keliling desa 30 putaran, dan ….
Maling : …jangan!
Maman : Lho, kok
jangan?
Maling : eh… anu…
terserah kamu saja.
Maman : Nah, setelah
itu kita lucuti bajunya, diikat, lalu diarak keliling kecamatan…
Maling : Enak saja,
saya ini orang baik-baik.
Maman : Lho, Bapak
kok emosi?
Maling : Karena
kamu sudah menginjak-injak harga diri saya. Bagaimana nanti anak
buahku?
Maman : Lho, jadi..
(keluar) He, mali....
Maling : (memotong
sambil mengacungkan senjata) Diam! Mau apa?
Maman : Mau teriak
maling.
Maling : Mau
kupotong lidahmu?
Maman : Jangan
mentang-mentang punya senjata mau potong lidah orang seenaknya ya!
Maling : Oh, jadi
sekarang berani melawan ya?
Maman : Eits,
sebentar. Aku mau ambil senjata dulu. (masuk rumah mengambil senjata)
Maling : Boleh,
silahkan.
(Maman keluar
membawa senjata yang lebih besar ukurannya. Bisa 5x lipat dari milik
Maling)
Maman : Nah,
sekarang senjataku lebih besar. Ayo maju!
(mereka bertarung,
tapi karena senjata Maman terlalu besar maka ia tidak kuat mengangkat
senjatanya. Meskipun Maling menyerangnya bertubi-tubi ia hanya bisa
menangkis.)
Maman : Ampun, Mas.
Ampun! (berlari keluar) Tolooong, toloooong. Maliiing..
(mendengar itu
Maling panik dan berusaha mencari barang curiannya dengan cepat.
Belum sempat menemukan barang curiannya, warga dan Maman sudah
berdatangan menggerebek Maling. Adegan kejar-kejaran terjadi. Merasa
terpojok, akhirnya maling berlari ke arah penonton. Warga
mengejarnya. Lampu sorot mengikuti arah larinya para pemain)
Lurah : (masih di
dalam panggung) Hei! Hei! Stoooop! Kembali! Apa-apaan kalian?
Seseorang :
Mengejar maling, Pak.
Lurah : Tapi kenapa
ke sana. Sini! Kembali ke sini!
(warga kembali)
Seseorang : Mau
bagaimana Pak? Malingnya lari ke sana.
Lurah : Ya jangan
dikejar.
Seseorang :
Bukannya kita dari tadi ngejar maling, Pak?
Lurah : Iya, tapi
kalau larinya ke luar daerah kita ya sudah, jangan dikejar.
Seseorang : Mau ke
luar daerah, mau ke luar negeri, namanya maling ya harus dikejar,
Pak. Apalagi yang dicuri uang kelurahan, Pak.
Lurah : Lho, kamu
ini bagaimana sih? Kita ndak bisa seenaknya saja melewati batas desa.
Bisa kacau.
Seseorang : Tidak
bisa bagaimana? Bagaimana dengan uang kelurahan?
Seseorang : Benar,
Pak. Ayo semuanya. Mumpung malingnya belum jauh. Kejaaar!
Lurah : Stooop!
Seseorang : Apalagi,
Pak?
Lurah : Saya bicara
belum selesai kok mau main kejar saja.
Seseorang : Pak,
kalau kita terlalu banyak bicara kapan malingnya akan tertangkap?
Lurah : Begini
Bapak-bapak, Ibu-ibu. Sebagai warga desa yang baik kita memang sudah
seyogyanya ikut membantu mengamankan desa. Salah satunya dengan cara
ikut mengejar pencuri seperti sekarang.
Seseorang : Nah,
maka dari itu tidak perlu banyak bicara. Sekarang ayo kita kejar.
Kejaaaar!
Lurah : Stooooop!
Ini masih belum selesai! Dasar orang tidak berpendidikan.
Seseorang : Pak,
kita semua memang hanya lulusan SD dan hanya Bapak yang sarjana. Tapi
di mana-mana kalau hanya urusan seperti ini tidak perlu pendidikan
tinggi. Ya, kan?
Warga : Betul.
Lurah : Nah, kalau
begitu apa sampeyan tahu kalau mengejar maling seperti ini ada
aturannya?
Seseorang : Mana
ada?
Lurah : Lho, ada.
Seseorang : Apa?
Lurah : Dalam Perdes
pasal 15 ayat 10 butir (e) tahun 1965 telah dijelaskan bahwa:
Kegiatan pengejaran pencuri, jambret, rampok dan atau semacamnya
hanya boleh dilakukan oleh warga dan atau perangkat desa sebatas
lingkungan desa mereka sendiri.
Seseorang : Nah,
kalau malingnya lari keluar desa bagaimana?
Lurah : Itu sudah
diatur dalam pasal dan ayat yang sama pada butir (k), bahwa: Jika
pelaku yang telah dijelaskan pada butir (a) melarikan diri hingga ke
luar batas desa maka warga dan atau perangkat desa wajib membuat
surat ijin pengejaran pada perangkat desa yang dimaksud hingga
disetujui oleh perangkat desa yang dimaksud.
Seseorang : Wah,
bisa berbulan-bulan, Pak.
Seseorang : Padahal
tinggal sedikit lagi kita bisa menangkap maling yang selama ini sudah
meresahkan desa.
Warga : Betul.
Lurah : Mau
bagaimana lagi? Ini sudah aturan.
Seseorang : Siapa
sih yang membuat aturan merepotkan seperti itu?
Lurah : Saya sendiri
juga kurang tahu. Tahun pembuatannya saja 1965. Saya masih di dalam
perut.
Seseorang : Apalagi
saya.
Lurah : Makanya
sekarang kita istirahat dulu besok kita buat surat ijin ke desa
sebelah agar pengejaran bisa dilanjutkan.
Seseorang : Pak,
saya usul. Bapak kan Lurah. Pendidikan Bapak juga sarjana. Nah,
tolong Bapak bicara dengan Pak Camat atau Presiden atau siapa sajalah
agar aturan seperti itu diganti.
Seseorang : Betul.
Kalau tidak, kita sebagai warga akan kesulitan bergerak kalau ada
kejadian seperti ini.
Lurah : Iya, beres.
Nanti akan saya usahakan.
Seseorang : Man,
aku numpang ke kamar mandi ya?
Maman : (setengah
berteriak) Jangan! Eh, anu, maksudku jangan, kamar mandinya rusak.
Kan tadi aku ngantong, soalnya kamar mandiku mampet.
Seseorang : Alah,
ndak apa-apa. Ini sudah ndak kuat.
Maman : Jangan! Eh,
anu maksudku jangan. Di dalam banyak tikus. Nanti kalau digigit
bagaimana?
Seseorang : Ya
sudah. Pak, saya pulang dulu ya? Kebelet.
Lurah : Ya, nanti ke
sini lagi ya?
Seseorang : Man,
ada air minum nggak?
Maman : Ada.
Seseorang : Minta
ya? (sambil berlalu akan masuk ke rumah Maman)
Maman : Jangan! Eh,
anu, sampeyan duduk-duduk di sini saja. Jangan masuk. Baunya, wuh.
Saya ambilkan saja.
Lurah : Aku juga,
Man. Kalau ada air putihnya agak hangat ya?
Maman : Oh, beres,
Pak.
Seseorang : Aku kopi
satu.
Maman : Nggak
sekalian soda gembira? (sambil berlalu masuk rumah)
(kemudian Lurah dan
warga yang tersisa berbincang-bincang. Tiba-tiba Seseorang datang
lagi dengan tergesa-gesa.)
Seseorang : Pak,
Pak!
Lurah : Ada apa?
Seseorang :
(terengah-engah) Di sana, di sana, Pak.
Lurah : Ada apa di
sana?
Seseorang : Ada,
ada orang mencurigakan.
Lurah : Mana? Di
mana?
Seseorang : Di
sana, Pak.
Warga :Ayo, ke sana.
(warga keluar panggung. Beberapa saat kemudian Maman keluar.)
Maman : Nah,
saudara-saudara ini pesanannya. Air putih dingin, air putih hangat
dan kopi soda... lho, mana orang-orang? Pak Lurah? Mas, Mbak?
Bagaimana sih orang-orang ini? Sudah susah-susah dibuatkan kok malah
menghilang. Dasar orang-orang tak tahu berterima kasih. (ketika Maman
menggerutu, tiba-tiba Maling masuk dan langsung membekap mulut Maman
dan memasukkannya ke dalam rumah. Minuman yang dibawa Maman
berantakan. Dari dalam terdengar suara gaduh. Warga masuk.)
Lurah : Mana
malingnya? Orang buta dibilang maling.
Seseorang : Saya kan
tadi hanya bilang orang yang mencurigakan, Pak. Bukan maling.
Seseorang : Lho kok
berantakan? Mana Maman?
Lurah : Man, Maman.
(membuka pintu) Lho, ini malingnya!
(Warga masuk semua.
Mereka keluar dengan membawa seseorang yang berpenampilan seperti
Maling. Yang lain membawa rantang, pakaian, pentungan, senter dan
hasil “curian” lainnya yang ada di dalam rumah Maman)
Seseorang :
Akhirnya, kamu kena juga ya.
Seseorang : Jadi
selama ini dia sembunyi di dalam rumah Maman.
Seseorang : Maman
sialan. Jadi selama ini dia yang menyembunyikan maling ini.
Seseorang : Selain
itu ternyata dia yang mencuri pakaian kita selama ini. Lihat ini, ini
semua pakaianku yang hilang.
Seseorang : Ini juga
perlengkapan Hansipku ada di sini.
Seseorang :
Langsung hajar saja.
Lurah : Tenang dulu,
kita lihat dulu bagaimana wajahnya. (ketika penutup wajah Maling
dibuka, ternyata orang tersebut adalah Maman dengan mulut tersumpal
dan tangan terikat.)
Lurah :Lho, jadi
kamu malingnya?
Maman : Bukan, Pak.
Ini salah paham. Tadi ada orang yang mengikat saya.
Seseorang : Alasan!
Sekali maling tetaplah maling.
Seseorang : Kalau
nyolong makanan dan pakaian saja berani, nyolong uang pasti juga
berani.
Maman : Ampun, bukan
saya. Ini salah paham.
Warga : Ayo hajar
saja, sikat dia. Bakar hidup-hidup.
Maman :
Toloooong.....
(Musik meninggi,
lampu panggung merah, semua fade out.)
Selesai
Malang, 7 Maret 2010
Dipentaskan pertama
kali oleh
Teater Kalam Man
Malang I
15 Mei 2010
Tentang Penulis
Pria kelahiran
Malang, 15 Juni 1987 ini bernama lengkap Alfanul Ulum Faisal Sahid.
Sejak masuk Universitas Negeri Malang Fakultas Sastra Jurusan Bahasa
dan Sastra Indonesia ia mulai mengenal dunia sastra dan seni drama.
Melalui salah satu ormawa jurusannya, Teater Pelangi, ia belajar
banyak tentang seni pertunjukan khususnya drama. Sejak menjadi
anggotanya pada tahun 2006 ia telah mengikuti beberapa pertunjukan
seperti Karma, Mengejar Kereta Mimpi, Monolog Robohnya Surau Kami dan
beberapa performing art lainnya yang bersifat insindental.
Naskah Maling ini
merupakan karya keduanya setelah naskah Hamil karyanya yang
diadaptasi dari naskah Hamil karya Puthut Buchori. Naskah ini telah
dipentaskan dan disutradarai oleh penulis sendiri pada Pentas
Produksi Teater Kalam, 15 Mei 2010 di Aula Man Malang I.
Pria pecinta scooter
ini sekarang aktif melatih di Teater Kalam Man Malang I. Kini ia juga
telah menyiapkan beberapa naskah drama yang nantinya akan dipentaskan
bersama siswa didiknya.
Kritik, saran dan
curahan hati anda tentang karya ini atau apa saja akan sangat
berharga sekali bagi penulis untuk melahirkan karya-karyanya yang
selanjutnya. Ia bisa dihubungi melalui jejaring sosialnya di
Facebook.com dengan alamat halapana@yahoo.ie
Salam Budaya!
|
Posting Komentar