Ternyata.....,
Udara dipagi hari
memberikan semangat untuk Rena beraktivitas. Sinar matahari pun
semakin menjanjikan kecerahannya. Rena berjalan disamping salah
seorang guru Bahasa Indonesia yang berpostur tubuh lumayan gemuk
dengan tas lengan ditangan kirinya menuju ke kelas baru yang akn
ditempati Rena. Pak guru tersebut biasa disapa Pak Bub oleh
murid-muridnya. Kelas Rena yang baru tidak jauh dari ruang guru,
hanya berjarak kurang lebih 50m. Menghadap ke barat berhadapan dengan
gedung bertingkat yang digunakan untuk kelas XI.
Sesampai tiba di kelas
yang dituju, Pak Bub memberi salam dan meminta waktu sebentar kepada
guru matematika yang tengah mengajar. Diikuti Rena berjalan mengikuti
dibelakangnya.
“Permisi bu, maaf
menggangu sebentar, ini ada siswa baru pindahan dari Cirebon yang
akan menempati kelas XII A2 ini. Mohon minta waktu untuk
memperkenalkan diri didepan kelas.”
“Owh ya pak silakan.”
Jawab guru matematika dengan senang hati.
“Rena silakan
perkenalkan diri kamu dihadapan teman-teman kamu yang baru.”
“Iya pak, terima
kasih.”Jawab Rena.
“Assalamu’alaikum
wr.wb, teman-teman semua perkenalkan nama aku Renata Rosita, aku
biasa dipanggil Rena. Aku pundahan dari MAN 1 Cirebon. Alamatku yang
sekarang ada di jalan Gajah Mada sebelah timur rumah sakit Al-Karomah
menghadap ke selatan. Jika teman-teman pengen main silakan, nomor
rumahku 150.”
Semua perhatian tertuju
pada Rena yang tengah berdiri di depan kelas.
“Sudah bu.”
“Ya sudah silakan
duduk. ”Perintahnya duduk dengan menunjuk tempat duduk di sudut
paling belakang dekat dengan jendela.
Rena duduk tidak sendiri.
Disamping Rena ada anak gadis berjilbab yang tidak kalah rapinya
dengan Rena. Rena tersenyum sebagai tanda awal perkenalan, kemudian
Rena duduk sambil menyodorkan tanganya untuk berkenalan.
“Hmm, boleh kenalan
nggak? Aku Rena kamu siapa?”
“Oh iya aku Dinar.”
Jawabnya sambil menjawab jabatan tangan Rena.
“Pindahan dari Cirebon
ya?”
“Iya.”
“Oowh.”
Hari pertama Rena masuk
langsung mengikuti pelajaran menyesuaikan dengan siswa lainnya.
Ditengah-tengah pelajaran berlangsung Rena mengamati Dinar yang hanya
dari atdi hanya diam saja.
“Nar, kamu kenapa? kok
diam aja dari tadi.”
“Gak ada apa-apa kok
Ren.”
“Wajah kamu kok pucet
gitu sich Nar.. sakit ya?
“Aku nggak papa kok
Ren. Sehat-sehat saja.”
“Beneran nggak papa??
Kalau sakit yuk ke UKS aja aku anter.” Pintanya berharap Dinar mau
mengikuti nasihatnya.
“Nggak usah Ren,
makasih. Aku nggak papa kok Ren, beneran.” Dinar berusaha
menyakinkan Rena. Mereka tampak akrab meskipun baru saja kenal.
Tak lama kemudian
terdengar bel istirahat yang diikuti adzan dhuhur, terdengar dari
mushola yang ada di sekolahnya.
“Nar, keluar yuk. Kita
mau jajan, apa sholat dulu?” sambil memasukan buku dan peralatan
tulis kedalam tasnya.
“Nggak ah Ren, aku di
kelas aja.”
“Kenapa...lagi bulanan
ya?” Tanyanya penasaran, Dinar hanya tersenyum mendengar pertanyaan
Rena.
“Ya udah dech nggak
papa. O iya Nar, mushola sebelah mana sich? Aku mau shoalt dulu aja
ah.”
“Mushola??! Jawabnya
kaget.
“Iya mushola.”
“Kok Dinar aneh gitu
sich kaya orang linglung” gumam Rena dalam hati.
“Owh, kamu keluar aja
dari pintu ntar kekanan, trus nanti ada garasi kamu belok aja lagi,
kekanan ada WC disamping parkiran. Pasti jam segini biasanya
anak-anak masih pada wudhu.” Dinar menjawab pertanyaan Rena dengan
pandangan mata keluar jendela disebelah kiri dia duduk. Entah apa
yang sedang dilihanya.
“Ya udah makasih.”
Sebelum Rena melangkahkan
kakinya dia mengeluarkan sesuatu dari dalan tasnya.
“Eh...O iay, aku bawa
roti Nar, buat kamu aja dari pada kamu ngelamun nggak jelas, nih
ambil.” Rena menodorkan rotinya ke Dinar. Dia hampir saja menolak
tapi akhirnya diambil juga.
“Makasih Ren.”
“Makan ya rotinya.”
Perintahnya sambil lari kecil meninggalkan Dinar menuju ke Mushola.
Waktu istirahat sudah
habis. Siswa-siswi sudah siap mengikuti pelajaran selanjutnya. Tapi
pelajaran siang hari itu kosong, karena para Bapak Ibu guru sedang
ada rapat dadakan. Kesempatan itu digunakan anak-anak kelas XII A2
untuk bercanda, cerita-cerita, ada yang tidur, mainan Hp, dan
lain-lain. Tapi tidak dengan Rena dan Dinar. Mereka keluar kelas
menuju kepinggir lapangan sepak bola di bawah pohon mangga yang
letaknya lumayan jauh dari kelas mereka.
Rena dan Dinar duduk
menghadap kebarat membelakangi gedung bertingkat. Didepan mereka
duduk ada kolam yang tak terawat, penuh tumbuhan kangkung dengan
sampah dan ikin-ikin kecil didalamnya. Mereka tampak sedang asyik
membicarakan seasuatu tiba-tiba Dinar bertanya,
“Ren, menurut kamu
gimana sich rasanya mati?” pertanyaan Dinar sontak membuat Rena
kaget.
“Ah, ngaco kamu Nar,
mati kok ditanyakan gimana rasanya, ya nggak tau dong, orang yang
sudah mati aja nggak bisa nyeritain gimana rasanya, aneh-aneh aja
kamu ini.”
“Ya nggak Ren, kan Cuma
tanya doang.”
“Udah ag, jadi
merinding.”
Angin yang meniup membuat
bulu kuduk Rena berdiri.
“Nar, rumah kamu dimana
sich? Kapan-kapan aku boleh main kan?” tanyanya agar suasana
berubah.
“Rumahku disini.”
“Disini?? Yang benar
aja. Apa maksud kamu di daerah sekolah ini ya?”
“Disini.” Jawab Dinar
mengulangi kalimat yang sama.
“Owh...aku tahu, kalau
aku nggak salah tebak kamu anaknya yang jaga sekolah ini ya? Maka
dari itu ksmu tinggal disini.”
“Nggak juga.”
Jawabnya yang semakin menambah penasaran Rena.
“Terus??”
Belum selesai Rena
ngomong, Dinar langsung memotong pembicaraan.
“Udah ah, ayo ikit
aku.”
“Kemana?”
“Lho katanya pegen
lihat rumahku?”
“Sekarang??”
“Iya.”
“Tapi..”
“Tapi apa?”
”Entar kalau di kelas
udah ada gurunya gimana Nar, sudah jam keberapa nih..” Rena melihat
jam tangannya yang menempel ditangan kirinya.
“Hah....,jam lima lebih
seperempat??! Perasaan kita baru setengah jam duduk disini.”
Rena juga baru sadar kalau
disekitar sekolah sudah sepi. Semua murid dan guru sudah pulang.
Sudah tidak ada siapa-siapa lagi di kelas kecuali mereka berdua.
“Waah..,ada yang nggak
beres nih!! Cabut yuk Nar, udah sore banget, bentar lagi maghrib,
sudah hampir gelap gini. Yuk!..”
“Ya berhubung bentar
lagi maghrib, gimana kalau kamu mampir aja dulu ke rumahku. Entar
sehabis maghrib pulangnya aku antr dech.. gimana? Gak baik kan jam
segini anak cewek masih dijalan?”
“Ya udah yuk, tapi ke
kelas dulu, aku mau ambil tas.”
“Lha ini apa?” sambil
menunjuk sesuatu disamping mereka duduk. Rena kaget kenapa tasnya
sudah ada disitu.
“Kok bisa sich..., aku
kan tadi belum ambil tas.’ Tanyanya heran.
“Udah ah ayo keburu
maghrib entar.”
“Tapi Nar..”
“Udah lah Ren, nggak
usah pakai acara tapi-tapian.”
Rena berjalan mengikuti
Dinar dibelakangnya menuju suatu tempat yang dituju Dinar.
“Kita mau kemana Nar?
Dinar hanya diam dan terus
melangkahkan kakinya melewati lapangan. Tiba-tiba ada suara lelaki
memanggil Rena.
“Ren, Rena. Mau apa
kamu kesitu?” kata Pak Bub melihat Rena dari depan ruang guru
sedang berjalan didepan garasi mobil dari arah barat. Rena berhenti
dan menuju Pak Bub yang sedang berjalan menuju kearahnya.
“Eh Bapak, kok belum
pulang?” Tanya Rena.
“Iya, barusan ngambil
handicam ketinggalan di meja. Kamu sendiri jam segini belum pulang,
sendirian lagi. Mau ngapain Ren?”
“Sendiri? Gak kok pak,
saya sama Dinar.”
“Siapa??” Pak Bub
meminta pengulangan.
“Dinar Bapak.., temen
satu meja sama saya.”
“Apa Bapak tidak salah
denger? Dinar Larasati maksud kamu??”
“Iya.”
“Terus mana Dinarnya?’
“Lha ini.”
Rena membalikkan badan
mencari Dinar yang tadi berdiri dibelakangnya. Rena memanggil-manggil
Dinar tapi tidak ada jawaban. Akhirnya Pak Bub menggandeng tangan
Rena dan mengajaknya duduk di beranda kelasnya.
“Rena, Dinar yang kamu
maksud sebenarnya sudah meninggal satu minggu yang lalu, dia
meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Lukanya sangat parah hingga
sulit dikenali lagi wajahnya.
Rena tak percaya dan shock
mendengar pernyataan Pak Bub. Dia menutup mulutnya dengan kedua
tanganya.
“Ini lihat.”
Pak Bub memperlihatkan
vidio dihandicam yang diambilnya ketika Dinar diaotopsi.
“Terus yang menabrak
Dinar siapa Pak?”
“Menurut polisi dan
orang yang melihat ditempat kejadian sich, tadinya kecelakaan
tunggal. Dinar mengendarai motornya dengan kencang, kemudian motornya
menabrak jalan berlubang, lalu Dinar terpental ketengah jalan.
Kepalanya membentur aspal, helm yang dikenakan terlepas. Dan yang
membuat Dinar meninggal mungkin karena yang dibelakangnya tidak bisa
mengerem, dan langsung melindasnya. Menurut ibunya, waktu itu Dinar
kesiangan karena malamnya tidur sampai larut. Jadi supaya tidak
terlambat masuk sekolah, mungkin dia ngebut.”
Tubuh rena terasa lemas
mendengar cerita Pak Bub, karena seharian di sekolah bersama Dinar
yang ternyata...., hanyalah arwahnya.
Label: jurnalis |
Posting Komentar